Medan, (KN) Adanya surat dari 27 Kongres AS yang ditujukan kepada Presiden RI untuk mendesak mencabut Surat Keputusan (SKB) Tiga Mentri Nomor 3 tahun 2008 yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri mengenai kepercayaan Ahmadiyah yang ada di Indonesia.
Desakan yang disampaikan oleh 27 anggota Kongres AS yang diantaranya Frank E Wolf, Maurice D Hincghey, Joseph R Pitts, Dan Burton, Madeleine Z Bordallo, Michael M Honda, James P McGorven, Daniel E Lungren, Sheila Jackson Lee, Zoe Lofgen, Lloyd Doggot, Jackie Speier, Janice D Schakowsky, Barney Frank, Gregorio Kilili Camacho Sablan, Trent Franks, Edward J Markey, David Wu, Keith Ellison, Cristhoper Li Smith, John F Tierney, Roscoe G Bartlett, Thomas E Petri, Davis N Ciciline, Jim Mc Dermott, Chellie Pingree tersebut sudah mencampuri masalah Kedaulatan Negara RI dan menekan wibawa pemerintah RI. Sebab Anggota Kongres AS tersebut telah mencampuradukkan tentang kebebasan memeluk agama di Indonesia yang diatur dalam Psl 28 huruf e UUD 1945 dengan penodaan agama atau pelecehan agama. Sebab menambahi Nabi dalam suatu agama ini adalah suatu perbuatan yang dikategorikan telah melakukan penodaan agama.
Kongres AS tidak dapat memahami pengertian kebebasan beragama dengan pelecehan atau penodaan agama. Sebab terjadinya penodaan agama di Indonesia adalah karena kekosongan hukum dan situasi kekosongan hukum ini dimanfaatkan kelompok tertentu yang ingin merusak atau menodai agama di Indonesia. Bahkan kekosongan UU beragama ini dapat juga menuai terjadinya konflik SARA dan membahayakan diintegrasi bangsa yang dapat menjurus kepada kondisi chaos
Untuk menyikapi agar tidak ada penekanan dari negara luar terhadap Pemerintah RI yang berdaulat, maka dengan menjunjung tinggi azas Recht State (negara hukum) sudah saatnya Pemerintah RI membuat UU Beragama. Muatan yang dituangkan dalam UU beragama harus dibuat tegas terhadap agama tersebut dibuat nama agamanya, buku agamanya yang sah, Nabinya yang diakui, budaya beribadahnya yang diterapkan serta budaya berpakaiannya yang dilestarikan. Jika ini telah dituangkan dalam UU beragama, maka siapa saja yang mendirikan agama di Indonesia tidak bisa berbenturan atau tidak dibenarkan meniru ketentuan yang baku tersebut. Jika meniru suatu agama maka terbukti telah melakukan tindakan makar karena telah melecehkan agama dan juga melakukan penodaan agama.
Dengan adanya UU beragama tersebut, maka Pemerintah RI secara tegas dapat menjawab semua surat yang datang dari Kongres AS yang ingin mencampuri tentang kebebasan beragama di Indonesia yang mencampur adukkan dengan kebebasan beragama dengan melakukan pelecehan atau penodaan agama. Sebab dunia luar tidak dapat memahami pengertian setiap orang bebas memeluk agamanya. Sebab makna konstitusi pasal 28 huruf e UUD 1945 tersebut bebas memeluk agama adalah memeluk agama yang telah diakui oleh Pemerintah RI, bukan terhadap agama yang melakukan pelecehan terhadap agama yang lain yang merusak buku sucinya dan menjatuhkan wibawa Nabinya dan juga meniru budaya beribadahnya.
Dengan pertimbangan Indonesia negara kepulauan mempunyai budaya yang satu dengan yang lain berbeda yang diikat melalui Bhineka Tunggal Ika yang mana pada saat ini telah terjadi perbuatan meniru budaya agama yang lain untuk dibawa kedalam agamanya, ini menciptakan suatu perbuatan pelecehan agama. Bahkan ada juga agama yang sengaja memutarbalikan akidah agama yang lain.
Untuk menghindari agar tidak terjadi perbuatan penodaan agama dan juga menjiplak budaya agama serta memutarbalikkan buku agama yang dianut dan mengaburkan eksistensi Nabi yang dipercayai maka sudah saatnya Pemerintah RI membuka UU beragama di Indonesisia demi persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI.(jhon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar